Jejak Harum Atlet Indonesia di Antara Putih Hijau Wimbledon

Jejak Harum Atlet Indonesia di Antara Putih Hijau Wimbledon

iMSPORT.TV – Jejak Harum Atlet Indonesia di Antara Putih Hijau Wimbledon. Di antara rumput dipangkas rapi dan seragam putih bersih para petenis dunia di Wimbledon, siapa sangka jejak harum Kenanga pernah tertinggal.

Tak terlihat mencolok, tak terdengar nyaring, tapi hadirnya nyata, melenggang perlahan dari negeri tropis jauh di Timur, menembus pagar aristokrasi olahraga tertua ini.

Wimbledon bukan sekadar Grand Slam, tapi merupakan simbol tradisi, elegansi, dan salah satu seleksi alam paling ketat dalam dunia tenis. Tidak semua petenis, apalagi dari Asia Tenggara, mampu menembusnya.

Namun, Indonesia pernah beberapa kali menorehkan nama. Bukan lewat sorotan terang, melainkan ibarat bunga kenanga: tumbuh pelan, tenang, dan meninggalkan wewangian dalam.

Lita dan Lany: kenanga pembuka jalan
Pada 1971, dua perempuan Indonesia melangkah di rumput Wimbledon. Mereka adalah Lita Liem Sugiarto dan Lany Kaligis. Nama-nama yang kini nyaris tenggelam di antara sejarah panjang olahraga tanah air, tapi semestinya layak dikenang setara legenda.

Di sektor ganda putri, Lita dan Lany mampu mencapai perempat final Wimbledon. Sebuah pencapaian luar biasa, mengingat saat itu Indonesia belum punya fasilitas tenis layak, apalagi pelatih asing atau pusat Pelatnas berstandar internasional.

Tahun berikutnya, Lita bahkan menembus putaran ketiga tunggal putri, rekor yang baru bisa disamai beberapa dekade kemudian.

Seperti kenanga yang tumbuh tanpa pamrih di pekarangan rumah nenek, keduanya hadir tanpa gegap gempita dan kehebohan. Tapi merekalah para pembuka jalan.

Yayuk Basuki: Saat wangi Itu menjadi tajam
Sekira dua puluh tahun berselang dari pencapaian Lita dan Lany, Atlet Indonesia kembali menebar harum. Kali ini lewat Nany Rahayu Basuki, atau yang lebih familiar dengan sapaan akrab Yayuk Basuki, petenis asal Yogyakarta yang tampil berani di panggung dunia.

Pada 1997, Yayuk mencapai perempat final tunggal putri Wimbledon, sebuah pencapaian yang hingga kini belum bisa disamai oleh petenis Asia Tenggara lainnya.

Di antara barisan petenis dari Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman, Yayuk berdiri tegak dengan servis kuat dan permainan net yang efisien.

Ia menjadi “The Smiling Assassin” dari Timur. Tidak dengan teriakan keras, tapi dengan pukulan terukur dan mimik tenang. Ibarat kenanga yang tampak tenang namun kuat bertahan di panas dan hujan tropis, Yayuk menghadapi tekanan dengan keanggunan kelas wahid.

Angelique dan Wynne
Memasuk era 2000-an, harapan Indonesia kembali tumbuh. Atlet Indonesia Angelique Widjaja, yang akrab disapa Angie, berhasil menjuarai Wimbledon Junior 2001. Kemenangan itu menjadi sorotan dunia tenis. Indonesia yang kembali diajak bermimpi: mungkinkah juara Grand Slam itu berasal dari Nusantara?

Meski kemudian cedera dan tekanan membuat langkah Angie terganjal, ia tetap mencatatkan hasil mengesankan di Wimbledon: dua kali mencapai babak kedua tunggal, dan dua kali pula perempat final ganda putri pada 2003 dan 2004.

Pada saat bersamaan, Wynne Prakusya juga konsisten tampil. Ia sempat melaju hingga babak ketiga ganda putri dan juga membela Indonesia pada Olimpiade 2004 Athena. Bersama Angie, mereka menorehkan jejak harum, meski tidak panjang. Inilah Kenanga yang tidak mekar setiap saat, tapi selalu dikenang aromanya.

Jejak Harum Atlet Indonesia di Antara Putih Hijau Wimbledon

Aldila Sutjiadi: harum yang bertahan
Hari ini, satu nama masih terus menjaga kehadiran Indonesia di Wimbledon: Aldila Sutjiadi. Ia tak datang dengan hype besar, tapi dengan kerja keras dan konsistensi.

Sejak 2022, Aldila rutin tampil di kompetisi level Grand Slam. Wimbledon menjadi salah satu panggung terbaiknya.

Pada 2023, Aldila mencetak sejarah: menembus semifinal ganda campuran, prestasi tertinggi Indonesia di nomor itu sepanjang masa. Bersama Matwe Middelkoop, ia mengalahkan pasangan-pasangan unggulan dan menunjukkan bahwa petenis Indonesia tak hanya hadir untuk melengkapi undian.

Di sektor ganda putri, Aldila juga dua kali menembus babak ketiga (2023 dan 2024). Gaya mainnya tak meledak-ledak, tapi cerdas dan sabar. Ia tak mudah dilupakan.

Tahun ini, Aldila akan bermain di nomor ganda putri. Berpasangan dengan petenis Jepang, Eri Huzumi, mereka akan berusaha melangkah lebih jauh pada petualangan teranyarnya di Inggris.

Petenis putri Indonesia di Wimbledon bukan hanya soal statistik atau hasil pertandingan. Mereka merupakan simbol dari daya tahan, kerja sunyi, dan mimpi yang dibawa jauh melintasi benua.

Mereka tumbuh bukan di akademi elite atau cuaca yang mendukung, tapi di lapangan semen panas dan sistem yang terbatas. Namun, mereka datang dengan raket, tekad, dan cinta terhadap permainan ini.

Setiap langkah mereka di rumput hijau itu, seperti satu helai bunga Kenanga yang jatuh perlahan, diam-diam menambahkan harum pada sejarah tenis dunia.

Harum Itu belum hilang
Wimbledon akan terus menyuguhkan bunga-bunga khas Eropa: mawar Inggris, lavender Perancis, atau tulip Belanda. Tapi kenanga dari Indonesia pernah dan masih menebar jejak di sana.

Bukan yang paling kuat, bukan pula yang paling mencolok. Tapi kenanga tahu cara bertahan. Dan petenis putri Indonesia, dari Lita, Lany, Yayuk, Angie, Wynne, hingga Aldila, telah membuktikannya.

Harum itu belum hilang. Mungkin bahkan sedang menunggu waktu untuk kembali mekar, di tengah putih dan hijau rumput Wimbledon.

(amr/adm)

Berita Olahraga Lainnya :